Cara Mengatasi Anak Hiperaktif
ANAK lincah, anak banyak bergerak atau anak membongkar-bongkar mainannya sampai mainan itu cerai berai, sebenarnya sangat wajar. Di mana-mana pun anak yang normal cenderung begitu. Tapi kalau kelincahan itu tak terkendali, aktivitasnya selalu berpindah-pindah, sulit memusatkan perhatian pada satu hal, sebaiknya orangtua lebih mencermati. Mana tahu anak itu tergolong hiperaktif.
Dra Ike Anggraika MSi, seorang psikolog di Jakarta mengatakan, anak hiperaktif akan bermasalah saat mereka mulai duduk di bangku sekolah. Korelasi antara hiperaktivitas dengan kesulitan belajar, sangat tinggi. Sama sekali hal ini bukan karena IQ anak hiperaktif kurang, tapi atensi sebagai modal belajar, tak dimiliki anak hiperaktif. "Bagaimana anak-anak itu mau menyerap pelajaran, untuk bisa bertahan konsentrasi saja sulit. Padahal atensi dan konsentrasi amat diperlukan dalam belajar," kata psikolog, staf pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Anak dengan keaktifan di atas normal, menurut dia terbagi-bagi gradasinya. Ada yang ringan, ada yang berat, sampai yang sangat berat. Anak yang tergolong hiperaktif berat, sangat mudah ditandai, karena untuk minta mereka diam sejenak, barang semenit pun, sangat sulit. Tanda anak hiperaktif aktivitas fisiknya luar biasa.
|
Gambar Mengatasi Anak Hiperaktif |
Sementara pada anak hiperaktif ringan, nyaris sulit dibedakan dengan anak-anak pada umumnya. Wajar kalau banyak orangtua menyangka anaknya tak ada masalah, sampai kemudian baru mereka sadar ketika gurunya melaporkan perilaku anak tersebut dalam kelas. "Pada anak-anak seperti ini, sering baru diketahui hiperaktif ketika sekolah, di TK atau SD. Mereka kelihatan 'lain' dari teman-temannya, karena umumnya mereka tidak bisa diam di kelas dan gelisah jika harus duduk lama," kata Ike Anggraika.
Psikolog yang sering menangani masalah hiperaktif pada anak ini mengingatkan, karena perilakunya yang demikian itu, dampaknya bisa sangat tidak menguntungkan bagi anak tersebut. Secara sosial, mereka menjadi sulit diterima lingkungannya. Anak-anak hiperaktif sering mendapat cap jelek, dianggap anak nakal dan tak punya aturan. Anggapan seperti ini sebenarnya tak salah, mengingat anak hiperaktif memang cenderung tak bisa mengikuti aturan. Kalau mereka diminta berbaris menunggu giliran, misalnya, mereka tak akan mampu. Apalagi kalau anak itu mendapat giliran antre di belakang.
Angkanya tinggi
Anak-anak yang tergolong hiperaktif, jumlahnya cukup banyak. Paling tidak di Amerika, sebuah penelitian menyebutkan, sekitar 10 persen anak Amerika, termasuk hiperaktif, ringan atau berat. "Kita di Indonesia tidak punya angkanya, tapi saya yakin cukup banyak," ucap Ike.
Dari pembagian jenis kelamin, Ike mencatat, 90 persen anak hiperaktif adalah laki-laki. Tidak jelas, mengapa begitu. Namun fakta ini menimbulkan kesulitan tersendiri buat orangtua untuk bisa mendeteksi apakah anaknya sekadar lincah atau harus diwaspadai berperilaku hiperaktif. Sebab sebagaimana anggapan umum, anak laki-laki memang mempunyai aktivitas fisik jauh lebih aktif dibanding anak perempuan. Akibatnya, banyak orangtua menganggap keaktifan anak laki-lakinya sebagai bagian dari bawaan sifat alamiah anak laki-laki.
Ciri Ciri Anak Hiperaktif
Untuk menggolongkan, apakah seorang anak termasuk berperilaku hiperaktif, memang sama sekali tidak mudah. Terutama untuk tingkatan hiperaktif ringan. "Makanya pada anak usia dua atau tiga tahun, kami susah memutuskan apakah dia hiperaktif atau bukan. Perlu dilakukan pemeriksaan seksama untuk menentukannya," kata Ike Anggraika.
Tidak demikian halnya dengan hiperaktif berat. Bahkan sejak anak itu masih bayi, sebenarnya orangtua bisa mengenali adanya kelainan ini. Anak hiperaktif berat sejak bayi sudah tidak bisa diam, tidur tidak pernah bisa tenang, tak sabaran, bahkan sering tampak frustrasi.
Jika anak itu sudah lebih besar, kelainan akan kelihatan semakin jelas. Setiap menit, selalu ada sesuatu dari bagian tubuhnya yang bergerak. "Pada anak hiperaktif, mereka melakukan aktivitas tanpa suatu tujuan. Belum selesai aktivitas yang dilakukan, mereka bisa beralih ke aktivitas lain, hanya dalam waktu semenit bahkan beberapa detik. Karena itu mereka tak pernah bisa menyelesaikan tuntas suatu aktivitas," demikian jelas psikolog UI ini.
Mempertahankan konsentrasi sangat sulit dilakukan. Digambarkan, ketika seorang anak hiperaktif sedang diajak berbicara, gangguan sedikit saja bisa membuat dia mengalihkan perhatian ke hal lain. Kalau anak normal masih bisa menahan diri, anak hiperaktif akan langsung beraksi.
Tentang aktivitas berlebihan ini, Ike mengutip para ahli mengatakan, ada dua faktor penyebab anak hiperaktif. Faktor pertama adalah herediter atau keturunan. Lalu faktor kedua, disfungsi otak.
Cara Mengatasi Anak Hiperaktif
Perilaku hiperaktif sebagian bisa sembuh dengan sendirinya. Pada mereka yang tergolong hiperaktif ringan, biasanya perilaku hiperaktif selesai pada usia tertentu. Sementara hiperaktif berat, seringkali perlu ditangani dengan obat-obatan agar aktivitas bisa dikendalikan.
Seringan apapun, menurut Ike, sebaiknya orangtua atau guru tidak menunggu tanpa berbuat apa-apa. Efek bola salju bisa sangat tidak menguntungkan masa depan anak hiperaktif. Mereka terlanjur mendapat cap jelek. Ketika mereka duduk di kelas I atau II SD, kemungkinan mereka tidak bisa mengikuti pelajaran, sehingga harus tinggal kelas. Jadi, diperlukan tips khusus bagaimana cara menghadapi anak hiperaktif.
"Akibat-akibat seperti inilah yang perlu diwaspadai, sehingga sebaiknya seringan apapun, anak hiperaktif perlu ditangani," ujar Ike Anggraika. Lalu bagaimana cara menangani anak hiperaktif?
Kerja sama antara orangtua, guru, dan psikolog, amat diperlukan dalam penanganan anak hiperaktif. Untuk mendiagnosa tingkat hiperaktif, psikolog biasanya membawa anak tersebut ke neurolog untuk pemeriksaan otak. Dari situ diagnosa itu, terapi anak hiperaktif bisa dilakukan.
Karena persoalan paling utama ada di sekolah, Ike menganggap, dalam cara mendidik anak hiperaktif, guru merupakan ujung tombak. Jika seorang guru menemukan adanya kelainan pada salah satu muridnya, Ike menganjurkan untuk melaporkan kepada orangtuanya. Jika memang kemudian dipastikan anak itu termasuk hiperaktif, dalam penanganan selanjutnya peranan guru nomor satu.
"Dibanding dengan di rumah, persoalan di sekolah lebih sulit. Di rumah, anak hiperaktif bisa saja melakukan berbagai kegiatan, tapi di sekolah mereka perlu konsentrasi dan atensi terhadap pelajaran," kata Ike.
Menurut Ike, meski kadang mengganggu teman-temannya, tapi anak hiperaktif tak perlu dipisahkan dari anak-anak lainnya. Kepada orangtua yang mempunyai anak hiperaktif, dia mengharapkan untuk tidak malu mengakuinya. Kalau perlu, berbagilah dengan orangtua-orangtua lain yang mungkin mempunyai pengalaman menangani anak hiperaktif.
Melihat pengalaman negara-negara maju, Ike berharap kelak ada lembaga yang mau memberi tempat bagi para orangtua untuk saling bertukar pikiran dan mendapatkan informasi masalah anak hiperaktif ini.