Sungguh suatu pernyataan yang mengejutkan. Soalnya bila hal ini tanpa disertai informasi lebih lanjut, bisa menimbulkan kesalah-pahaman di masyarakat. Mereka yang tidak tahu, mungkin saja akan berbondong-bondong menuju rumah sakit yang memasang tanda telah menerima akreditasi dari Departemen Kesehatan, dengan harapan akan mendapatkan pelayanan penanganan kesehatan yang sebaik-baiknya.
Padahal sebenarnya tidak persis demikian. Sertifikat akreditasi hanya merupakan suatu pengakuan terhadap rumah sakit, bahwa lembaga itu sudah memenuhi standar awal pada lima bidang kegiatan pelayanan. Yaitu bidang administrasi dan manajemen, pelayanan medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan, dan rekam medis.
Tujuan akreditasi adalah untuk memacu rumah sakit agar memenuhi standar pelayanan, sehingga mutunya dapat dipertanggungjawabkan.
Tetapi jangan salah. Akreditasi baru merupakan awal upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Setelah lima kegiatan pelayanan itu, masih perlu dilanjutkan dengan tujuh akreditasi kegiatan pelayanan penunjang lainnya.
Ketujuh kegiatan pelayanan lainnya adalah pelayanan perinatal risiko tinggi, pengendalian infeksi di rumah sakit, kamar operasi, laboratorium, radiologi, pelayanan sterilisasi, keselamatan kerja, kebakaran, dan kewaspadaan bencana.
Jelas, akreditasi itu bukan jaminan, bahwa pelayanan rumah sakit bersangkutan kepada pasien akan serba baik. Akreditasi juga bukan jaminan, bahwa pelayanan rumah sakit akan dilakukan secara profesional, karena semua pelayanan masih tergantung pada manusia yang melaksanakan.
***
Gambar komisi akreditasi rumah sakit |
SEBAGAI contoh kecil, salah satu rumah sakit di Jakarta yang baru saja memperoleh sertifikat akreditasi Mei 1997 ini dilaporkan melakukan sesuatu yang merugikan pasien. Seorang pasien yang tergelincir dan mengalami gangguan pada kakinya mengeluh, ia diharuskan bedah tulang padahal sebelumnya dinyatakan sudah sembuh.
Untung ia mengerti perlunya second opinion. Maka ia mengunjungi dokter spesialis tulang lainnya. Hasilnya, tulang kaki pasien itu tidak mengalami sesuatu yang harus diatasi dengan pembedahan.
Seorang pasien lain mengeluhkan rumah sakit yang sama, karena ia merasa rumah sakit bersangkutan pelayanannya tidak profesional. Ia datang dengan keluhan sakit perut. Oleh dokter, ia diminta segera rontgen. Ketika datang lagi keesokan harinya, ternyata ia disuruh rontgen lagi oleh dokter lainnya.
Hari berikutnya, dokter yang berbeda lagi memintanya untuk kembali rontgen. Kali ini masih diembel-embeli pemeriksaan laboratorium segala, karena datanya belum ada. Pasien bersangkutan naik pitam, karena merasa sudah melakukan pemeriksaan di laboratorium. Sang dokter berkeras, hasil laboratorium belum ada.
Hal-hal semacam ini tentu menimbulkan pertanyaan, kalau rumah sakit yang sudah memperoleh sertifikat akreditasi saja cara pelayanannya semacam itu, bagaimana dengan rumah sakit lain yang belum berakreditasi?
Jadi sekali lagi perlu ditegaskan, sertifikat akreditasi bukan jaminan bahwa pelayanan rumah sakit bersangkutan akan dilakukan secara profesional. Karena itu adalah suatu keputusan tepat dengan memberlakukan masa sertifikat akreditasi itu hanya untuk tiga tahun. Ini kemudian dapat diajukan kembali sebelum masa berlakunya berakhir.
***
HARUS diakui, melakukan akreditasi rumah sakit di Indonesia bukanlah pekerjaan mudah. Selain jumlah rumah sakit yang ada cukup banyak, kualitasnya yang terdiri dari berbagai variasi tenaga, peralatan, dan kemampuan juga beragam. Semakin ke daerah pinggiran, umumnya kemampuan rumah sakit semakin terbatas.
Di sisi lain, upaya untuk memperoleh sertifikat akreditasi rumah sakit tidaklah murah. Persiapannya tidak hanya meliputi pemenuhan standar struktur baik perangkat lunak maupun keras, tetapi juga biaya untuk memenuhi rekomendasi yang disyaratkan jika penilaian akreditasi perlu diulang.
Akreditasi berpengaruh pada kesiapan rumah sakit di Indonesia dalam menghadapi era globalisasi, persaingan antarrumah sakit dan munculnya rumah sakit asing. Memang sertifikat akreditasi itu sangat dibutuhkan rumah sakit, agar kesemrawutan para petugas rumah sakit yang terlalu sibuk dan banyak dokter yang merangkap praktek di berbagai rumah sakit lain, dapat diatasi.
Dengan akreditasi, diharapkan sekitar 80 persen kasus malpraktek yang terjadi di rumah sakit dapat berkurang. Begitu pula kesibukan rumah sakit yang tinggi, tidak membuat petugas melupakan kewajiban mengisi rekam medis sesuai standar yang ditentukan.
Bila sertifikat akreditasi rumah sakit itu dilaksanakan sesuai prosedur dan profesional, contoh kasus pasien yang diminta rontgen dan periksa laboratorium berulang kali itu, tidak terjadi. Sebab dari sisi rekam medis, yang merupakan berkas catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya kepada pasien, penanganan yang dilakukan selalu bisa dilihat.
Seharusnya rekam medis itu menjadi alat komunikasi antara dokter dengan tenaga ahli lain, dan sebagai dasar merencanakan pengobatan, bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan maupun "perkembangan" penyakit pasien. Rekam medis dapat menjadi bahan untuk analisa, penelitian dan evaluasi terhadap pelayanan pada pasien. Di sisi lain, rekam medis dapat melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit dan dokter serta tenaga kesehatan lainnya.
***
BUKAN mustahil malpraktek di rumah sakit dapat berkurang bila sertifikat akreditasi dilaksanakan sesuai prosedur dan secara profesional. Munculnya dugaan malpraktek akan selalu merepotkan. Tidak hanya pasien dan masyarakat yang harus memperjuangkan kepentingannya melalui hukum, tetapi juga melibatkan kelompok profesi bersangkutan maupun lainnya, dan tentu saja aparat pemerintah.
Biasanya reaksi masyarakat berupa celaan melalui media massa, reaksi profesi medik terorganisir melalui IDI (Ikatan Dokter Indonesia), sementara pihak pemerintah atau Departemen Kesehatan sebagai salah satu wasitnya, bisa memberi teguran, sanksi administrasi, atau pencabutan izin praktek.
Bila sertifikat akreditasi akan ditonjolkan untuk kepentingan promosi rumah sakit, perlu dipikirkan makna dan tujuan akreditasi itu sendiri, agar kelak tidak menjadi senjata makan tuan. Sebab semua itu akan kembali pada diri sendiri, sudah mampu atau belum melaksanakan akreditasi sesuai prosedur dan secara profesional.
Tetap harus disadari, sertifikat akreditasi itu masih berupa nama di atas kertas, sekalipun penilaiannya berasal dari Komisi Gabungan Akreditasi Rumah Sakit. Praktek pelaksanaannya kepada pasien sehari-hari, masih harus dibuktikan secara nyata.
Kenyataan menunjukkan, sampai hari ini pun masih ada sejumlah rumah sakit di Jakarta yang tidak berniat memperoleh sertifikat akreditasi. Mereka berpendapat, untuk apa akreditasi jika tanpa itu pun sudah lancar dan memperoleh untung cukup baik. Akreditasi masih dianggap hanya menghabiskan biaya dan membuang waktu.
==**==
Search Terms: komisi akreditasi rumah sakit , komite akreditasi rumah sakit , standar akreditasi rumah sakit , persiapan akreditasi rumah sakit , akreditasi rumah sakit jci , akreditasi rumah sakit 16 pelayanan , pengertian akreditasi rumah sakit , akreditasi rumah sakit terbaru , akreditasi rumah sakit adalah , syarat akreditasi rumah sakit , tujuan akreditasi rumah sakit
Tag Cloud: 1 4 5 6 sakit rumah untuk akreditasi ppi pdf radiologi bagian mfk standar tujuan komite pelayanan pedoman pokja 2013 2016 dalam medis rekam regulasi progres royal rscm progress nasional badan nilai internasional dan perbedaan nirmala panti tim sk panitia contoh informasi komunikasi manajemen kars k3 pasien keselamatan kps 2012 jci syarat persiapan jiwa anak ibu iso indonesia medan haji stikes hukum landasan penilaian hasil keluarga hak tentang hermina sadikin hasan hpk gizi darurat gawat survei gci form farmasi instalasi format fungsi fatmawati fersi edisi elemen evaluasi 2007 instrumen d tipe di artikel daftar download dharmais jakarta yogyakarta tengah jawa c sop cara kelas sakit.com mangunkusumo cipto b blogspot bidang keperawatan bertaraf bethesda banyumas medik adalah asesmen a administrasi apk khusus dokumen versi buku penyusunan panduan menurut ppt pendidikan mdgs permenkes dengan berdasarkan workshop komisi paripurna terbaru depkes dasar 2011 baru tahun 2015 2014